“Keberanian saja tidak cukup — dan riset ini membuktikannya.”
Dalam dunia bisnis yang terus berubah, keberanian sering kali dipuja sebagai kunci sukses. Tapi hasil penelitian yang saya lakukan terhadap 138 pemimpin dari berbagai industri di Indonesia, di mana sebagian besar responden merupakan anggota dari Asosiasi Sales Director Indonesia (SDI), menunjukkan hal yang berbeda:
👉 Keberanian saja tidak cukup.
Organisasi yang efektif ternyata tidak hanya butuh orang-orang yang berani mengambil risiko, tapi juga yang inovatif dan proaktif.
Dua Faktor yang Berdampak Langsung
Hasil analisis menunjukkan bahwa:
- Proactiveness memberikan pengaruh paling besar terhadap efektivitas organisasi (β = 0.447)
- Innovativeness juga berdampak kuat (β = 0.263)
- Risk-taking? Tidak signifikan secara langsung (β = 0.154)
Namun, saat dimediasi oleh organizational engagement, barulah risk-taking mulai menunjukkan efek positif.
Lalu, Apa Itu Organizational Engagement?
Menurut definisi dari Saks (2006) dan Albrecht et al. (2015), organizational engagement adalah:
“Keterlibatan emosional, kognitif, dan afektif seseorang terhadap organisasi secara keseluruhan — bukan hanya terhadap pekerjaannya.”
Artinya, seseorang yang engaged bukan hanya menyelesaikan tugas, tapi juga merasa menjadi bagian dari misi dan arah organisasi. Mereka peduli. Mereka ingin berkontribusi. Mereka merasa ini “juga rumah saya.”
Engagement: Penghubung Strategi dan Eksekusi
Engagement menjadi jembatan antara strategi yang dirancang di atas kertas dengan aksi nyata di lapangan. Tanpa engagement, keberanian berubah jadi spekulasi. Dengan engagement, keberanian jadi langkah strategis yang diperhitungkan.
Berikut grafik hasil riset yang memperlihatkan perbedaan pengaruh Entrepreneurial Orientation (EO) terhadap efektivitas organisasi.
Secara sederhana, EO adalah cara pikir dan budaya organisasi yang mencerminkan seberapa inovatif, proaktif, dan berani organisasi dalam mengambil keputusan strategis.
Dalam penelitian ini, EO dibagi menjadi tiga dimensi utama:
- Innovativeness – dorongan untuk menciptakan ide dan solusi baru.
- Proactiveness – kemampuan bertindak cepat sebelum pesaing atau pasar berubah.
- Risk-Taking – keberanian mengambil keputusan di tengah ketidakpastian.
Ketiga dimensi ini diukur untuk melihat sejauh mana pengaruhnya terhadap efektivitas organisasi, baik secara langsung maupun melalui organizational engagement sebagai faktor perantara.
Dari grafik, kita bisa melihat angka-angka berikut:
- Proactiveness memberikan dampak langsung tertinggi terhadap efektivitas organisasi sebesar 0.447, dan masih tetap tinggi (0.342) ketika dimediasi oleh engagement.
- Innovativeness juga memberikan kontribusi signifikan (0.263 langsung, turun sedikit menjadi 0.194 dengan mediasi).
- Sementara Risk-Taking menunjukkan dampak yang jauh lebih kecil (0.154 langsung, dan hanya 0.068 jika dimediasi).
Dari hasil visualisasi, Anda bisa melihat bagaimana risk-taking tidak berdampak signifikan tanpa engagement. Itu artinya, keberanian harus didukung oleh rasa memiliki tim.
What’s Next?
Lalu, apa artinya ketika risk-taking tidak berkorelasi langsung dengan efektivitas?
Artinya, menjadi berani saja tidak cukup. Jika seorang leader hanya mendorong timnya untuk “berani,” tanpa membangun kepercayaan, keterlibatan, dan koneksi emosional terhadap organisasi, maka risk-taking berubah menjadi nekat — bukan keberanian strategis.
Sebaliknya, ketika tim merasa engaged, mereka tidak hanya berani mengambil risiko — mereka mengambil risiko yang bertanggung jawab, terarah, dan selaras dengan tujuan organisasi.
💡 Maka, sebagai Sales Leader, sudah saatnya kita menggeser pertanyaan dari: “Siapa yang paling berani di tim saya?” menjadi: “Siapa di tim saya yang benar-benar paham dan peduli ke mana arah perusahaan ini berjalan?”